Eksepsi Pidana: Pengertian, Jenis, Dan Prosedurnya

Eksepsi dalam pengadilan perkara pidana adalah salah satu hak penting bagi terdakwa. Dalam dunia hukum pidana, eksepsi ini menjadi semacam perisai atau pertahanan awal yang bisa diajukan sebelum masuk ke pokok perkara. Nah, buat kalian yang penasaran apa sih eksepsi itu, kapan diajukannya, dan apa saja jenis-jenisnya, yuk simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!

Apa Itu Eksepsi dalam Hukum Pidana?

Eksepsi, atau yang sering disebut juga tangkisan, adalah jawaban atau bantahan dari terdakwa terhadap surat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam bahasa sederhana, eksepsi ini adalah cara terdakwa mengatakan, "Eh, tunggu dulu! Dakwaan ini kayaknya ada yang salah deh." Eksepsi ini bukan membahas soal benar atau salahnya perbuatan yang dituduhkan, tapi lebih fokus pada formalitas dan legalitas dari dakwaan tersebut.

Eksepsi ini diatur dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal ini memberikan hak kepada terdakwa untuk mengajukan keberatan terhadap dakwaan yang dianggap tidak memenuhi syarat formil maupun materiil. Jadi, sebelum pengadilan memeriksa lebih jauh soal perbuatan pidana yang dituduhkan, ada baiknya memastikan dulu bahwa dakwaan itu sendiri sudah benar secara hukum.

Kenapa Eksepsi Itu Penting?

Eksepsi itu penting banget, guys. Bayangin aja, kalau dakwaan yang diajukan ke pengadilan itu cacat atau tidak sah, maka seluruh proses persidangan bisa jadi sia-sia. Eksepsi ini menjadi mekanisme kontrol agar proses peradilan berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, eksepsi juga melindungi hak-hak terdakwa agar tidak diadili berdasarkan dakwaan yang tidak jelas atau tidak sah. Dengan mengajukan eksepsi, terdakwa punya kesempatan untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang mungkin ada dalam dakwaan JPU. Ini adalah bagian dari due process of law, yaitu prinsip bahwa setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Kapan Eksepsi Diajukan?

Eksepsi diajukan pada kesempatan pertama setelah surat dakwaan dibacakan oleh JPU. Jadi, setelah JPU selesai membacakan dakwaan, majelis hakim akan memberikan kesempatan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya untuk menyampaikan tanggapan. Nah, di sinilah momen yang tepat untuk mengajukan eksepsi. Penting untuk diingat, eksepsi ini harus diajukan sebelum pemeriksaan saksi-saksi dimulai. Kalau sudah masuk ke tahap pembuktian, kesempatan untuk mengajukan eksepsi biasanya sudah tertutup. Oleh karena itu, terdakwa dan penasihat hukumnya harus cermat dan teliti dalam memeriksa surat dakwaan agar bisa segera menemukan potensi cacat atau kekurangan yang bisa dijadikan dasar eksepsi.

Jenis-Jenis Eksepsi dalam Hukum Pidana

Ada beberapa jenis eksepsi yang bisa diajukan dalam perkara pidana. Secara umum, eksepsi ini dibagi menjadi dua kategori besar: eksepsi formal dan eksepsi materiil. Masing-masing jenis eksepsi ini punya dasar dan alasan yang berbeda. Yuk, kita bahas satu per satu!

Eksepsi Formal: Menyoal Keabsahan Prosedur

Eksepsi formal adalah jenis eksepsi yang fokus pada aspek formal atau prosedural dari surat dakwaan. Artinya, eksepsi ini tidak membahas soal isi atau substansi dari tindak pidana yang dituduhkan, tapi lebih menyoroti apakah surat dakwaan itu sudah dibuat sesuai dengan aturan hukum yang berlaku atau belum. Beberapa contoh eksepsi formal antara lain:

1. Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili (Eksepsi Kompetensi Absolut)

   Eksepsi ini diajukan jika pengadilan yang menyidangkan perkara tersebut tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara tersebut. Kewenangan pengadilan ini bisa dilihat dari dua aspek: kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Kewenangan absolut berkaitan dengan jenis perkara yang boleh diadili oleh suatu pengadilan. Misalnya, perkara pidana umum seharusnya diadili di pengadilan negeri, bukan di pengadilan agama. Jika perkara pidana umum malah disidangkan di pengadilan agama, maka terdakwa bisa mengajukan eksepsi kompetensi absolut. Selain itu, eksepsi ini juga bisa diajukan jika perkara tersebut seharusnya diadili oleh pengadilan militer, bukan pengadilan umum, atau sebaliknya. Jadi, intinya adalah memastikan bahwa perkara tersebut diadili oleh pengadilan yang tepat sesuai dengan jenis perkaranya.

   Untuk memahami lebih dalam tentang kewenangan absolut ini, kita bisa merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam undang-undang tersebut, diatur secara jelas mengenai pembagian kewenangan antara berbagai jenis pengadilan di Indonesia. Dengan memahami aturan ini, terdakwa dan penasihat hukumnya bisa lebih mudah menentukan apakah pengadilan yang menyidangkan perkara tersebut memiliki kewenangan absolut atau tidak.

2. Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili Karena Tempat Kejadian Perkara (Eksepsi Kompetensi Relatif)

   Selain kewenangan absolut, ada juga yang namanya kewenangan relatif. Kewenangan relatif ini berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Setiap pengadilan negeri memiliki wilayah hukum masing-masing. Misalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berwenang mengadili perkara yang terjadi di wilayah Jakarta Pusat. Kalau ada perkara pidana yang terjadi di Jakarta Selatan tapi malah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka terdakwa bisa mengajukan eksepsi kompetensi relatif. Eksepsi ini didasarkan pada prinsip locus delicti, yaitu tempat terjadinya tindak pidana. Pengadilan yang berwenang mengadili adalah pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat terjadinya tindak pidana tersebut. Tujuannya adalah untuk memudahkan proses pembuktian dan pemeriksaan saksi-saksi yang mungkin berdomisili di sekitar tempat kejadian perkara.

   Namun, ada pengecualian untuk prinsip locus delicti ini. Dalam beberapa kasus, pengadilan lain bisa saja berwenang mengadili perkara meskipun tempat kejadian perkaranya berada di luar wilayah hukumnya. Hal ini diatur dalam Pasal 84 KUHAP. Misalnya, jika sebagian besar saksi berdomisili di wilayah hukum pengadilan lain, atau jika terdakwanya ditangkap di wilayah hukum pengadilan lain, maka pengadilan tersebut bisa saja berwenang mengadili perkara tersebut. Pengecualian ini bertujuan untuk efisiensi dan efektivitas proses peradilan. Meskipun demikian, prinsip locus delicti tetap menjadi acuan utama dalam menentukan kewenangan relatif pengadilan.

3. Surat Dakwaan Tidak Memenuhi Syarat Formil

   Surat dakwaan itu punya format yang baku. Ada beberapa syarat formil yang harus dipenuhi agar surat dakwaan itu sah. Kalau surat dakwaan tidak memenuhi syarat formil, maka terdakwa bisa mengajukan eksepsi. Syarat formil surat dakwaan ini diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Beberapa syarat formil yang penting antara lain:

   • Tanggal dan tempat pembuatan surat dakwaan: Surat dakwaan harus mencantumkan tanggal dan tempat pembuatannya. Ini penting untuk memastikan bahwa surat dakwaan itu dibuat pada waktu dan tempat yang sah.
   • Identitas terdakwa: Surat dakwaan harus mencantumkan identitas terdakwa secara lengkap, seperti nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, alamat, dan agama. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa orang yang didakwa adalah orang yang tepat.
   • Uraian tindak pidana yang didakwakan secara jelas, cermat, dan lengkap: Surat dakwaan harus menguraikan secara jelas, cermat, dan lengkap tindak pidana yang didakwakan. Uraian ini harus mencakup unsur-unsur tindak pidana yang dilanggar, waktu dan tempat kejadian perkara, serta cara terdakwa melakukan tindak pidana tersebut. Tujuannya adalah agar terdakwa bisa memahami dengan jelas apa yang dituduhkan kepadanya dan bisa mempersiapkan pembelaan dengan baik. Uraian tindak pidana ini juga penting untuk memudahkan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
   • Pasal pidana yang dilanggar: Surat dakwaan harus menyebutkan pasal pidana yang dilanggar oleh terdakwa. Pasal ini harus sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum dan memudahkan hakim dalam menentukan hukuman yang tepat bagi terdakwa.

   Jika salah satu atau beberapa syarat formil ini tidak dipenuhi, maka surat dakwaan bisa dianggap cacat formil dan terdakwa berhak mengajukan eksepsi. Misalnya, jika surat dakwaan tidak mencantumkan tanggal pembuatannya, atau jika uraian tindak pidananya tidak jelas, maka terdakwa bisa mengajukan eksepsi.

4. Surat Dakwaan Batal Demi Hukum

   Ada beberapa kondisi yang bisa menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum. Artinya, surat dakwaan itu dianggap tidak pernah ada sejak awal. Kondisi-kondisi ini biasanya berkaitan dengan pelanggaran terhadap prosedur hukum yang sangat mendasar. Salah satu contohnya adalah jika surat dakwaan disusun oleh jaksa yang tidak berwenang. Jaksa yang berwenang menyusun surat dakwaan adalah jaksa yang ditunjuk oleh Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Jika surat dakwaan disusun oleh jaksa yang tidak memiliki surat perintah penunjukan, maka surat dakwaan tersebut bisa batal demi hukum. Selain itu, surat dakwaan juga bisa batal demi hukum jika melanggar asas ne bis in idem, yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang sama. Jika seseorang sudah pernah dihukum atas suatu perbuatan, maka ia tidak boleh dituntut lagi atas perbuatan yang sama. Jika hal ini terjadi, maka surat dakwaan yang diajukan bisa batal demi hukum.

Eksepsi Materiil: Menyoal Substansi Dakwaan

Berbeda dengan eksepsi formal yang fokus pada aspek prosedural, eksepsi materiil lebih menyoroti substansi atau isi dari dakwaan. Eksepsi ini mempertanyakan apakah dakwaan tersebut sudah tepat secara hukum atau belum. Beberapa contoh eksepsi materiil antara lain:

1. Dakwaan Tidak Jelas (Obscuur Libel)

   Eksepsi obscuur libel diajukan jika surat dakwaan dianggap tidak jelas, kabur, atau sulit dipahami. Ketidakjelasan ini bisa terjadi karena berbagai alasan. Misalnya, uraian tindak pidana yang didakwakan tidak lengkap, tidak cermat, atau tidak sistematis. Akibatnya, terdakwa sulit memahami apa sebenarnya yang dituduhkan kepadanya. Selain itu, ketidakjelasan juga bisa terjadi jika terdapat kontradiksi antara satu bagian dakwaan dengan bagian lainnya. Misalnya, dalam uraian tindak pidana disebutkan bahwa terdakwa melakukan pencurian dengan kekerasan, tapi dalam pasal yang didakwakan hanya disebutkan pasal tentang pencurian biasa. Kontradiksi semacam ini bisa membuat dakwaan menjadi tidak jelas. Tujuan dari eksepsi obscuur libel ini adalah untuk melindungi hak terdakwa agar bisa mempersiapkan pembelaan dengan baik. Kalau dakwaannya saja tidak jelas, bagaimana terdakwa bisa membela diri? Oleh karena itu, surat dakwaan harus dibuat sejelas mungkin agar terdakwa bisa memahami apa yang dituduhkan kepadanya dan bisa memberikan jawaban atau sanggahan yang tepat.

2. Perbuatan yang Didakwakan Bukan Tindak Pidana

   Eksepsi ini diajukan jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sebenarnya bukan merupakan tindak pidana. Artinya, perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal pidana yang didakwakan. Misalnya, seseorang didakwa melakukan penggelapan, padahal ia tidak pernah menerima barang atau uang yang digelapkan. Atau, seseorang didakwa melakukan pencemaran nama baik, padahal pernyataan yang ia sampaikan adalah kritik yang wajar dan tidak memenuhi unsur-unsur pencemaran nama baik. Dalam kasus seperti ini, terdakwa bisa mengajukan eksepsi bahwa perbuatan yang didakwakan bukanlah tindak pidana. Eksepsi ini sangat penting karena menyangkut legalitas dari dakwaan. Seseorang tidak boleh dihukum jika perbuatannya tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jika hakim sependapat dengan eksepsi ini, maka terdakwa harus dibebaskan.

3. Perkara Sudah Kedaluwarsa

   Setiap tindak pidana punya masa kedaluwarsa. Artinya, ada batas waktu tertentu setelah terjadinya tindak pidana, penuntutan tidak boleh lagi dilakukan. Masa kedaluwarsa ini berbeda-beda, tergantung pada jenis tindak pidananya dan ancaman hukumannya. Aturan mengenai masa kedaluwarsa ini diatur dalam Pasal 78 KUHP. Misalnya, untuk tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 3 tahun, masa kedaluwarsanya adalah 12 tahun. Jika penuntutan baru dilakukan setelah masa kedaluwarsa ini lewat, maka terdakwa bisa mengajukan eksepsi bahwa perkara tersebut sudah kedaluwarsa. Tujuan dari adanya masa kedaluwarsa ini adalah untuk memberikan kepastian hukum dan menjaga ketertiban umum. Setelah jangka waktu tertentu, bukti-bukti suatu tindak pidana mungkin sudah sulit ditemukan atau saksi-saksi sudah sulit dihadirkan. Selain itu, penuntutan yang dilakukan setelah jangka waktu yang lama juga bisa menimbulkan ketidakpastian dan keresahan di masyarakat. Oleh karena itu, hukum memberikan batasan waktu agar penuntutan bisa dilakukan secara efektif dan efisien.

4. Terdakwa Telah Meninggal Dunia

   Jika terdakwa meninggal dunia, maka hak menuntut pidana menjadi gugur. Hal ini diatur dalam Pasal 77 KUHP. Jadi, jika terdakwa meninggal dunia sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, maka perkara tersebut tidak bisa dilanjutkan. Dalam kasus seperti ini, penasihat hukum terdakwa bisa mengajukan eksepsi bahwa terdakwa telah meninggal dunia. Eksepsi ini akan mengakhiri proses peradilan terhadap terdakwa tersebut. Prinsip ini didasarkan pada asas personalitas dalam hukum pidana, yaitu pidana hanya bisa dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana. Jika orangnya sudah meninggal, maka tidak ada lagi orang yang bisa dijatuhi pidana.

5. Perkara Sudah Pernah Diputus (Ne Bis In Idem)

   Asas ne bis in idem adalah prinsip hukum yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang sama. Jika seseorang sudah pernah diadili dan diputus bersalah atau tidak bersalah atas suatu perbuatan, maka ia tidak boleh dituntut lagi atas perbuatan yang sama, meskipun ada bukti baru yang ditemukan. Asas ini diatur dalam Pasal 76 KUHP. Tujuan dari asas ne bis in idem adalah untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi hak-hak individu. Seseorang tidak boleh hidup dalam ketidakpastian hukum yang berkepanjangan karena terus-menerus diancam dengan tuntutan pidana atas perbuatan yang sama. Jika seseorang dituntut lagi atas perbuatan yang sudah pernah diputus, maka ia bisa mengajukan eksepsi ne bis in idem. Untuk bisa mengajukan eksepsi ini, harus dipastikan bahwa perbuatan yang dituntut kali ini adalah perbuatan yang sama dengan perbuatan yang sudah pernah diputus sebelumnya. Selain itu, putusan pengadilan yang sebelumnya juga harus sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Jika semua syarat ini terpenuhi, maka eksepsi ne bis in idem bisa diterima dan perkara tersebut tidak bisa dilanjutkan.

Apa yang Terjadi Setelah Eksepsi Diajukan?

Setelah eksepsi diajukan, JPU akan diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan atau jawaban terhadap eksepsi tersebut. Tanggapan JPU ini biasanya disampaikan secara tertulis. Setelah JPU memberikan tanggapan, majelis hakim akan mempertimbangkan eksepsi dan tanggapan JPU. Hakim akan memutuskan apakah eksepsi tersebut diterima atau ditolak. Putusan atas eksepsi ini biasanya dibacakan bersamaan dengan putusan sela.

Putusan Sela: Menerima atau Menolak Eksepsi

Putusan sela adalah putusan pengadilan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir. Dalam konteks eksepsi, putusan sela ini berisi keputusan hakim mengenai eksepsi yang diajukan oleh terdakwa. Ada dua kemungkinan putusan sela:

1. Eksepsi Diterima: Jika hakim menerima eksepsi, maka ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi:

   • Jika eksepsi yang diterima adalah eksepsi kompetensi absolut atau eksepsi surat dakwaan batal demi hukum: Maka pengadilan menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut dan perkara tidak dapat dilanjutkan. Terdakwa biasanya akan dibebaskan.
   • Jika eksepsi yang diterima adalah eksepsi kompetensi relatif: Maka pengadilan menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut dan perkara akan dilimpahkan ke pengadilan yang berwenang.
   • Jika eksepsi yang diterima adalah eksepsi surat dakwaan tidak memenuhi syarat formil atau eksepsi obscuur libel: Maka JPU diberikan kesempatan untuk memperbaiki surat dakwaan. Jika JPU tidak bisa memperbaiki surat dakwaan, maka perkara tidak dapat dilanjutkan.

2. Eksepsi Ditolak: Jika hakim menolak eksepsi, maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan ke tahap pembuktian. Artinya, pengadilan akan memeriksa saksi-saksi, barang bukti, dan keterangan terdakwa untuk membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak.

Kesimpulan

Eksepsi adalah hak penting bagi terdakwa dalam perkara pidana. Dengan mengajukan eksepsi, terdakwa bisa mengoreksi potensi kesalahan dalam dakwaan JPU dan memastikan bahwa proses peradilan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ada dua jenis eksepsi yang perlu kalian ketahui: eksepsi formal dan eksepsi materiil. Eksepsi formal fokus pada aspek prosedural, sementara eksepsi materiil fokus pada substansi dakwaan. Setelah eksepsi diajukan, hakim akan mempertimbangkan dan memberikan putusan sela. Putusan sela ini akan menentukan apakah eksepsi diterima atau ditolak, dan akan mempengaruhi kelanjutan proses peradilan. Jadi, buat kalian yang sedang menghadapi perkara pidana, jangan ragu untuk menggunakan hak eksepsi ini jika memang ada dasar hukumnya, oke?